Thursday, January 19, 2012

Hujan & Kenangan Jakarta

‘Hujan, rupanya tak sekedar menumpahkan air.
ia turut pula mengantarkan setangkup kenangan masa lalu di ingatan’
( Saya, 2012)

Bulan pertama di tahun ini, januari, sudah merangkak mendekati akhirnya. Suasana januari, sependek ingatan saya, terwakili oleh tiga (3) lagu, yakni nuansa putus cintanya Glen Fredly, Roman cinta Dili nya Rita Effendy serta yang paling manis, 11 januarinya Gigi. Tapi januari saya kali ini sama sekali tak terwakili oleh ketiga lagu tadi. Januari saya sederhana namun tetap menyimpan pesona. Januari saya tahun ini adalah januari yang basah.

Bagaimana tidak, kini setiap pulang kantor, saya selalu ‘kluncum’ bermandikan air hujan. Salah saya sebenarnya, tak menyegerakan membeli mantel yang harganya tak terlampau mahal itu. Entah mengapa, sensasi diguyur hujan jauh lebih menenteramkan daripada harus membebat tubuh dengan mantel gombrong yang berkibar-kibar jika diterjang angin itu. Akibatnya bisa ditebak, cucian saya menumpuk lebih dari biasanya, shampoo lebih cepat menipis, dan ini yang sebenarnya paling mengkhawatirkan, pilek dan demam sudah siap bertamu sejak beberapa hari yang lalu.

Hujan memang tak pernah datang sendiri. ia selalu hadir dengan dualisme sudut pandangnya. Kadang girang karena panas kontan menghilang, kadang gerutu karena cucian tak masuk lemari tepat waktu.  Beruntungnya saya, Ibu menanamkan memori dasar sejak kecil bahwa hujan adalah simbolisasi rejeki. Jadi seburuk apapun hujan mengguyur saya, membuat saya sakit atau membuat saya meradang sendu, ia tetaplah hujan yang seperti ditanamkan Ibu –hujan yang membawa rejeki-. Dan belumlah januari yang basah ini berakhir, saya sudah dilimpahi begitu banyak rejeki, yang pendefinisiannya tentu saja tak melulu soal ‘rupiah’


Rejeki saya yang paling ‘alhamdulillah yah!' hadir lewat  pertemuan dengan beberapa orang baru, yang secara psikologis membuat saya lebih ‘bernyawa’. Hety misalnya, dialah salah satu pengajar muda bawean  yang karena kehangatan sikapnya membuat saya semakin bersemangat mendirikan perpustakaan kecil di pulau itu. Vany, Zaky  dan Adi adalah rejeki berikutnya, adik-adik kelas saya di FISIP UNAIR itu, dengan tangan terbuka menyambut rencana saya untuk turut menyeret BEM FISIP UNAIR dalam proyek ‘Bawean Menyala’. Kemudian ada Fahmi, penggiat organisasi di Tulungagung yang tak berkeberatan dicuri waktu senggangnya untuk membicarakan proyek saya yang lain, pengobatan gratis.

Tapi diantara semua rejeki itu, pertemuan dengan ‘The Jakarta’s Fighter’ lah yang paling membekas. pertemuan ini lebih tepatnya, dapat dikatakan sebagai reuni, setelah hampir satu tahun lamanya kami tak saling bertatap muka. setelah hampir satu tahun, momen-momen perjuangan di jakarta itu terlewati. Pertemuan ini terasa mahal karena jarak yang membentang diantara kami berempat. ada saya yang singgah di tulungagung, Monik yang mencoba berdamai dengan jakarta, Arina yang nyaman di surabaya, dan Nila yang memeluk kembali kota kelahirannya, Magetan.

Kami, di sabtu sore yang basah itu, hanya mampu berkumpul bertiga. Di jakarta setahun lalu, kami bertaruh nasib dengan ijazah di genggaman. dan hari ini, kami berkumpul di perbatasan sidoarjo-surabaya dengan status yang sama, abdi negara. Monik di LIPI, Arina di Pemprov Jatim dan saya di KPU. Topik obrolan sore itu masih saja sama. Masih tentang perjuangan kami dulu di jakarta. Mungkin saja, kenangan itu bagian dari kebahagiaan. Karena hanya dengan membangkitkan ingatan akan sebuah kenangan , kita masih saja dibuat terbahak-bahak bila mengingatnya.


Foodcourt Surabaya Plaza

“Kami tak hentinya tergelak saat mengingat Arin yang dengan polosnya berjalan dari LIPI ke bendungan hilir, mengumpamakan jarak itu sebagai rute rekreasi yang bisa ia lewati dengan riang. Tentang saya yang berbohong kepada satpam Bappenas, dengan mengatakan kereta kami telambat sampai stasiun, demi bisa mengikuti tes awal di Bappenas yang jadwalnya bentrok dengan tes psikologi LIPI. Tentang saya  dan Monik yang terbirit-birit menuruni tangga karena kos kami siap dilalap si jago merah.

Tentang kami yang diintai pencopet di jembatan penyeberangan, digonggongi anjing setiap pagi di perumahan elite, terseok-seok mengejar kopaja, kebanjiran, berdiri di pinggiran jakarta hingga larut malam karena konvoi Jack Mania, menngisi ulang botol-botol aqua kami dengan air gratisan di Masjid Sunda Kelapa, hampir tersasar hingga sampai ke parung ketika tes kemendiknas, Demam berkepanjangan, Tangis yang pecah di ujung telepon, hingga digoda tukang bangunan karena mengira kami gadis desa yang baru saja urbanisasi. Semua rekaman kejadian itu, tak kalah dramatis dengan sinetron. Sungguh awalnya, saya mengira bahwa sinetron tak mungkin ada, tapi saya mengalaminya. Nyata dan tanpa skenario buatan manusia”

Bahkan setelah empek-empek, jamur chrispy, bakso dan teh poci tandas masuk ke pencernaan, setelah rute memutar dari lantai ke lantai, dan setelah kunjungan ke gramedia untuk yang kedua kalinya, tak juga mampu menyudahi obrolan kami. Hanya laju waktu yang mau tak mau mengingatkan bahwa pertemuan kami akan menyentuh batas akhirnya.

Saya, menulis ini dengan situasi yang sama. Sore basah yang diguyur hujan. Masih terngiang jelas, tentang rencana reuni berikutnya di daratan eropa, tentang saya yang menggebu-gebu bercerita soal proyek ini itu, tentang rekan kerja monik yang backpacker sejati itu, tentang arin yang coba-coba ingin melamar ke Bank Indonesia, tentang ‘to do lists’ kami setahun ke depan.

Kami-kami ini, perempuan tanggung yang menyanggupi berlari mengejar asa. dan rupanya, hujan dan kenangan akan jakarta adalah perekat, dua elemen itu adalah lem terkuat, yang kelak akan menyatukan kami lagi, dalam sepenggalan waktu yang lain, entah dimana…



                                                                                    Ditulis dalam kondisi sangat kelaparan
mendamba bakso urat dan segelas teh hangat
Tolooooong :(


-         R  -




8 komentar:

NH. Irani on January 19, 2012 at 10:51 AM said...

banjir air liur aku membacanya...hahaha. peh jian emang kamu tu nduk..pejuang sejati! tapi perjuangkan pula cintamu juga! go go girl!!!! uweeekkkkk:p

R. Widyaniarti on January 19, 2012 at 10:58 AM said...

Mburine ga enak. sepet. mak jleb !
ehm. baiklah kakak, akan saya perjuangkan! saya mengembara dulu yaa. *naik kuda putih* :p

arins on January 19, 2012 at 11:01 AM said...

'senasib seperjuangan',LIPI dan Bappenas telah mempertemukanku dengan sahabat2 baruku ini *bighugs ^.^
rencana reuni berikutnya di daratan eropa --mengamini dalam doa..smoga Allah berkenan, Amiiin... :)
Jakarta,LIPI dan Bappenas...mengukirkan cerita tersendiri bagi kita,,hehehe

R. Widyaniarti on January 19, 2012 at 1:36 PM said...

Amien Arin :)

Kalo maret jadi nge jakarta, kita sanggong itu bappenas dan LIPI yuaa :)

arins on January 19, 2012 at 2:22 PM said...

hwahahahaha kita poto2 aja berlatarkan 2 gedung 'bersejarah' itu :D

R. Widyaniarti on January 19, 2012 at 2:31 PM said...

siaaaappp :)

macak gembel maneh berarti ? hahaha

siwi mars on January 20, 2012 at 7:33 PM said...

ahaha..ada yang sama..paling males kalo disuruh pake mantel ujan kalo pas motoran, nek nggak deres banget..emooh..hihi..
*ayooo dihidupi mimpinya, pasti bisa reuni di daratan eropa :)

R. Widyaniarti on January 21, 2012 at 10:54 AM said...

iya kakak, seminggu ini aku ujan2 terus. tiap pulang kantor pasti teles bles :)

Amien. Semoga mimpinya mewujud. lumayan tar kalo di eropa lg winter, bisa buka usaha es campur! hahaha

Post a Comment

 

Riska Widya W Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos