Wednesday, December 28, 2011

Si Bungsu, Perjalanan, 2011

2 komentar


“Kita yang menjalani hidup dengan mengalir seperti air,
mungkin lupa bahwa air hanya mengalir ke tempat yang lebih rendah”
(Salim A. Fillah dalam Jalan Cinta Para Pejuang)

Minggu sore menjelang malam, adik saya yang paling kecil, Niar, tiba-tiba minta dijemput dari les aritmatika nya. Padahal biasanya, ia begitu mandiri pergi pulang les mengendarai sepeda mini, sambil tergelak-gelak sepanjang jalanan kompleks bersama kawanan sebayanya. Tapi sore ini, ia merengek-rengek minta saya jemput. Nature manjanya sebagai bungsu tak bisa dihindari oleh seisi rumah. Tak jarang, permintaannya adalah sabda. dan rupanya, adik saya yang genap berusia 9 tahun Januari besok ini, tahu betul bagaimana memanfaatkan posisi .

Permintaan itu saya amini. Saya berangkat menjemput si adik di tempat lesnya, tepat di ujung depan kompleks yang selalu riuh rendah. Maklum saja, tempat lesnya bersisian dengan masjid kompleks dan taman bermain. Jadilah saat sore menjelang malam, kawasan itu penuh dengan anak-anak yang pulang les dan mengaji, ibu-ibu yang menemani anaknya bermain di taman, serta kerumunan penjual aneka jajanan, balon, mainan dll. Semuanya tumpah ruah membanjiri pertigaan utama itu, nyaris persis seperti pasar malam dadakan.

Dari kejauhan saya memandang si adik tengah bersalaman dengan gurunya. Lesnya usai. sambil berjalan ke arah saya, ia berbisik-bisik kepada beberapa temannya. Saya melambaikan tangan dari jauh, memberi tanda saya hadir tepat pada waktunya. Tapi entah kenapa, ia tiba-tiba menunda rute pulang. Dengan manis, ia meminta saya menemaninya bermain di taman. Apalah daya, saya selalu kehilangan 5 hari untuk menyaksikan metamorfosanya, maka untuk meluluskan permintaan ini rasa-rasanya teramat mudah.

Sembari melihat Si adik jejeritan berlarian, saya berpikir tentang apa- apa yang sudah terjadi sepanjang tahun ini. Selain hal-hal baru yang datang bertubi-tubi, saya juga kehilangan beberapa hal lama yang melengkapi kehidupan saya tahun sebelumnya. Beberapa sangat membahagiakan, beberapa yang lain teramat menyedihkan. Sejujurnya, cuaca sore ini merepresentasikan kondisi saya sepanjang tahun 2011. Langit separuh terang separuh gelap. Senja oranye bercampur mendung coklat. di tengahnya, menggurat abu-abu terang. Lantas, untuk langit semacam ini, sebutan apa yang paling pas untuk disematkan? Inkonsistensi mungkin paling mendekati.

Tuesday, December 27, 2011

Balada Cinta Si Oneng

5 komentar


“Sebuah cinta memang harus diungkapkan karena tidak pernah ada cinta yang disembunyikan, kecuali oleh seseorang yang terlalu mencintai dirinya sendiri.”
(Donny Dhirgantoro dalam 5 cm , 2005)


.. Sekarang, jejaring sosialnya tak seramai biasanya. ini meresahkan, aku jadi sering tak tahu dimana ia dan bagaimana perasannya hari itu.. Sekarang, yang aku tahu, dia sedang tak bersama siapapun. tapi keberanian itu sepertinya takkan pernah terkumpul.. semuanya tetap sama, sajak-sajak tak bernama yang kukirim ke nomornya, telepon tanpa inisial hanya untuk mendengar ‘halo’ mendarat di telingaku..foto-foto curian masih tersusun rapi di buku agenda harianku.. Sekarang, semuanya masih saja sama..aku yang masih saja berdebar-debar setiap kali mendapati namanya disebut ..

Set 1
……………………………………………………………….
Sore kemarin, dengan sisa kuota internet yang tinggal separuh nyawa, saya ‘ngoyo’ membuka inbox mail. Semata demi membaca pesan dari seorang karib yang saya kenal hampir setahun yang lalu. Sebagian isi pesannya saya alih bahasakan dan saya gunakan untuk membuka catatan ini. Adalah Oneng yang merajuk-rajuk saya untuk segera membalas emailnya, mencari solusi atas kegalauan berkalanya. Empat (4) tahun belakangan, Oneng punya pekerjaan tetap, ia menjadi pemuja rahasia stadium akut, menjadi ‘orang yang jatuh cinta diam-diam’, menjadi bayangan gelap tak bernama.

Friday, December 16, 2011

Prajab & 'Jalan Yang Memutar'

6 komentar

“Berputar menjadi sesuatu yang bukan kita demi menjadi diri kita lagi” 
(Dewi Lestari dalam Perahu Kertas, 2009)

Akhir september lalu, saya baru saja usai mengikuti diklat prajabatan di Islamic Centre Surabaya. Waktu itu, bayangan 3 minggu yang menjemukan sudah menari-nari di depan mata. Apriori terhadap prajab semakin menggunung tatkala menyadari betapa ruwet persiapan yang harus saya lakukan. saya harus membawa travel bag, ransel, dan tas jinjing untuk menampung semua amunisi khas perempuan. belum lagi, isu ‘lulus/tak lulus’ tentang prajab yang didesas - desuskan oleh sebagian rekan senior cukup membuat kepala pusing lebih dari 7 keliling. satu satunya penghiburan hanyalah kata ‘surabaya’, kota dengan ribuan laci kenangan.

Dan benar, prajabatan memang seperti yang sudah saya bayangkan. lebih buruk bahkan. saya tak pernah mengantisipasi soal betis yang mengeras karena sehari apel tak kurang dari 7-8 kali, saya tak jua mengira akan selalu mengenakan baju hitam putih dan setelan training biru sepanjang hari, saya juga harus rela terkantuk-kantuk di depan pintu kamar mandi mulai jam 3 dini hari, sekedar mengawali antrian mandi agar tak terlambat apel pagi.

 Singkatnya, rutinitas berulang selama prajab terpotret cukup jelas dari foto-foto yang hendak saya tampilkan di bawah ini. semua foto hasil jepretan teman saya. selain karena tak membawa kamera, saya juga tak cukup ‘peka’ menangkap momen secara utuh. 

Wednesday, December 14, 2011

A Week of Sorrow

0 komentar

... Maka pada suatu pagi hari,
 ia ingin sekali menangis sambil berjalan tunduk sepanjang lorong itu.
 Ia ingin pagi itu hujan turun rintik-rintik dan lorong sepi agar ia bisa berjalan sendiri saja sambil menangis dan tak ada orang bertanya kenapa ...

( Pada Suatu Pagi Hari, Sapardi Djoko Damono, 1973)



Hypophrenia, sudah seminggu lebih mempermainkan laju emosi saya. Hypophrenia, semacam perasaan sedih yang muncul tanpa ada penyebab yang pasti. semua atribut yang melengkapi keseharian ‘terasa’ kacau, berantakan dan menjemukan. Andai di visualisasikan, mungkin seperti dikelilingi ribuan ‘dementor’ dalam serial Harry Potter, dementor yang tanpa ampun menghisap semua hawa bahagia dan menggantinya dengan kepedihan dan kehampaan tanpa ujung. seminggu ini, dunia rasanya berotasi demikian, terus menerus, bertubi-tubi …

Beberapa hari, berturut-turut , saya mudah sekali menangis. sekali lagi, tanpa sebab yang pasti. emosi saya mudah sekali tersudut dan tersulut. Melihat tukang becak yang bibirnya membiru karena kehujanan, saya menangis. Bangun di pagi hari dan mendapati sms ibu saya belum terbalas, saya menangis. berangkat kerja dan melihat gerombolan bocah berseragam SD tertawa riang, saya juga menangis. Makan, mengaji, bahkan sebelum tidur pun saya tak kuasa memerintah otak untuk tak ‘menganak-sungaikan’ air mata di pipi. mata saya rasanya panas. panas sekali..

Tak seperti biasanya, saya tak melawan. saya membiarkan kondisi ini terus berlarut-larut. saya biarkan ‘ia’ mengendap sedalam-dalamnya. entah karena terlalu lelah untuk melawan atau memang saya sedang tak punya amunisi untuk melawan. saya juga tak menghubungi siapapun untuk sekedar membagi keluh. Hypophrenia terlalu absurd untuk dijelaskan ke orang lain. sandaran terbaik hanyalah kepada ia yang ‘Maha Tahu’, sekalipun saya bungkam dalam kata dan hanya sanggup tersedu-sedu dalam doa..
 

Riska Widya W Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos