Wednesday, December 28, 2011

Si Bungsu, Perjalanan, 2011

2 komentar


“Kita yang menjalani hidup dengan mengalir seperti air,
mungkin lupa bahwa air hanya mengalir ke tempat yang lebih rendah”
(Salim A. Fillah dalam Jalan Cinta Para Pejuang)

Minggu sore menjelang malam, adik saya yang paling kecil, Niar, tiba-tiba minta dijemput dari les aritmatika nya. Padahal biasanya, ia begitu mandiri pergi pulang les mengendarai sepeda mini, sambil tergelak-gelak sepanjang jalanan kompleks bersama kawanan sebayanya. Tapi sore ini, ia merengek-rengek minta saya jemput. Nature manjanya sebagai bungsu tak bisa dihindari oleh seisi rumah. Tak jarang, permintaannya adalah sabda. dan rupanya, adik saya yang genap berusia 9 tahun Januari besok ini, tahu betul bagaimana memanfaatkan posisi .

Permintaan itu saya amini. Saya berangkat menjemput si adik di tempat lesnya, tepat di ujung depan kompleks yang selalu riuh rendah. Maklum saja, tempat lesnya bersisian dengan masjid kompleks dan taman bermain. Jadilah saat sore menjelang malam, kawasan itu penuh dengan anak-anak yang pulang les dan mengaji, ibu-ibu yang menemani anaknya bermain di taman, serta kerumunan penjual aneka jajanan, balon, mainan dll. Semuanya tumpah ruah membanjiri pertigaan utama itu, nyaris persis seperti pasar malam dadakan.

Dari kejauhan saya memandang si adik tengah bersalaman dengan gurunya. Lesnya usai. sambil berjalan ke arah saya, ia berbisik-bisik kepada beberapa temannya. Saya melambaikan tangan dari jauh, memberi tanda saya hadir tepat pada waktunya. Tapi entah kenapa, ia tiba-tiba menunda rute pulang. Dengan manis, ia meminta saya menemaninya bermain di taman. Apalah daya, saya selalu kehilangan 5 hari untuk menyaksikan metamorfosanya, maka untuk meluluskan permintaan ini rasa-rasanya teramat mudah.

Sembari melihat Si adik jejeritan berlarian, saya berpikir tentang apa- apa yang sudah terjadi sepanjang tahun ini. Selain hal-hal baru yang datang bertubi-tubi, saya juga kehilangan beberapa hal lama yang melengkapi kehidupan saya tahun sebelumnya. Beberapa sangat membahagiakan, beberapa yang lain teramat menyedihkan. Sejujurnya, cuaca sore ini merepresentasikan kondisi saya sepanjang tahun 2011. Langit separuh terang separuh gelap. Senja oranye bercampur mendung coklat. di tengahnya, menggurat abu-abu terang. Lantas, untuk langit semacam ini, sebutan apa yang paling pas untuk disematkan? Inkonsistensi mungkin paling mendekati.

Tuesday, December 27, 2011

Balada Cinta Si Oneng

5 komentar


“Sebuah cinta memang harus diungkapkan karena tidak pernah ada cinta yang disembunyikan, kecuali oleh seseorang yang terlalu mencintai dirinya sendiri.”
(Donny Dhirgantoro dalam 5 cm , 2005)


.. Sekarang, jejaring sosialnya tak seramai biasanya. ini meresahkan, aku jadi sering tak tahu dimana ia dan bagaimana perasannya hari itu.. Sekarang, yang aku tahu, dia sedang tak bersama siapapun. tapi keberanian itu sepertinya takkan pernah terkumpul.. semuanya tetap sama, sajak-sajak tak bernama yang kukirim ke nomornya, telepon tanpa inisial hanya untuk mendengar ‘halo’ mendarat di telingaku..foto-foto curian masih tersusun rapi di buku agenda harianku.. Sekarang, semuanya masih saja sama..aku yang masih saja berdebar-debar setiap kali mendapati namanya disebut ..

Set 1
……………………………………………………………….
Sore kemarin, dengan sisa kuota internet yang tinggal separuh nyawa, saya ‘ngoyo’ membuka inbox mail. Semata demi membaca pesan dari seorang karib yang saya kenal hampir setahun yang lalu. Sebagian isi pesannya saya alih bahasakan dan saya gunakan untuk membuka catatan ini. Adalah Oneng yang merajuk-rajuk saya untuk segera membalas emailnya, mencari solusi atas kegalauan berkalanya. Empat (4) tahun belakangan, Oneng punya pekerjaan tetap, ia menjadi pemuja rahasia stadium akut, menjadi ‘orang yang jatuh cinta diam-diam’, menjadi bayangan gelap tak bernama.

Friday, December 16, 2011

Prajab & 'Jalan Yang Memutar'

6 komentar

“Berputar menjadi sesuatu yang bukan kita demi menjadi diri kita lagi” 
(Dewi Lestari dalam Perahu Kertas, 2009)

Akhir september lalu, saya baru saja usai mengikuti diklat prajabatan di Islamic Centre Surabaya. Waktu itu, bayangan 3 minggu yang menjemukan sudah menari-nari di depan mata. Apriori terhadap prajab semakin menggunung tatkala menyadari betapa ruwet persiapan yang harus saya lakukan. saya harus membawa travel bag, ransel, dan tas jinjing untuk menampung semua amunisi khas perempuan. belum lagi, isu ‘lulus/tak lulus’ tentang prajab yang didesas - desuskan oleh sebagian rekan senior cukup membuat kepala pusing lebih dari 7 keliling. satu satunya penghiburan hanyalah kata ‘surabaya’, kota dengan ribuan laci kenangan.

Dan benar, prajabatan memang seperti yang sudah saya bayangkan. lebih buruk bahkan. saya tak pernah mengantisipasi soal betis yang mengeras karena sehari apel tak kurang dari 7-8 kali, saya tak jua mengira akan selalu mengenakan baju hitam putih dan setelan training biru sepanjang hari, saya juga harus rela terkantuk-kantuk di depan pintu kamar mandi mulai jam 3 dini hari, sekedar mengawali antrian mandi agar tak terlambat apel pagi.

 Singkatnya, rutinitas berulang selama prajab terpotret cukup jelas dari foto-foto yang hendak saya tampilkan di bawah ini. semua foto hasil jepretan teman saya. selain karena tak membawa kamera, saya juga tak cukup ‘peka’ menangkap momen secara utuh. 

Wednesday, December 14, 2011

A Week of Sorrow

0 komentar

... Maka pada suatu pagi hari,
 ia ingin sekali menangis sambil berjalan tunduk sepanjang lorong itu.
 Ia ingin pagi itu hujan turun rintik-rintik dan lorong sepi agar ia bisa berjalan sendiri saja sambil menangis dan tak ada orang bertanya kenapa ...

( Pada Suatu Pagi Hari, Sapardi Djoko Damono, 1973)



Hypophrenia, sudah seminggu lebih mempermainkan laju emosi saya. Hypophrenia, semacam perasaan sedih yang muncul tanpa ada penyebab yang pasti. semua atribut yang melengkapi keseharian ‘terasa’ kacau, berantakan dan menjemukan. Andai di visualisasikan, mungkin seperti dikelilingi ribuan ‘dementor’ dalam serial Harry Potter, dementor yang tanpa ampun menghisap semua hawa bahagia dan menggantinya dengan kepedihan dan kehampaan tanpa ujung. seminggu ini, dunia rasanya berotasi demikian, terus menerus, bertubi-tubi …

Beberapa hari, berturut-turut , saya mudah sekali menangis. sekali lagi, tanpa sebab yang pasti. emosi saya mudah sekali tersudut dan tersulut. Melihat tukang becak yang bibirnya membiru karena kehujanan, saya menangis. Bangun di pagi hari dan mendapati sms ibu saya belum terbalas, saya menangis. berangkat kerja dan melihat gerombolan bocah berseragam SD tertawa riang, saya juga menangis. Makan, mengaji, bahkan sebelum tidur pun saya tak kuasa memerintah otak untuk tak ‘menganak-sungaikan’ air mata di pipi. mata saya rasanya panas. panas sekali..

Tak seperti biasanya, saya tak melawan. saya membiarkan kondisi ini terus berlarut-larut. saya biarkan ‘ia’ mengendap sedalam-dalamnya. entah karena terlalu lelah untuk melawan atau memang saya sedang tak punya amunisi untuk melawan. saya juga tak menghubungi siapapun untuk sekedar membagi keluh. Hypophrenia terlalu absurd untuk dijelaskan ke orang lain. sandaran terbaik hanyalah kepada ia yang ‘Maha Tahu’, sekalipun saya bungkam dalam kata dan hanya sanggup tersedu-sedu dalam doa..

Monday, October 31, 2011

Jeda

0 komentar

When I was just a little girl
I asked my mother, what will I be ?
Will I be pretty ?  will I be rich ?
Here's what she said to me ..

Que Sera, Sera,
Whatever will be, will be
The future's not ours to see
Que Sera, Sera
What will be, will be. 

 (Doris Day. Que sera sera. 1956)


Sebagaimana cara kerjaNya yang selalu ‘ajaib’, Tuhan menyediakan cara-cara sederhana untuk menyentuh sisi hati yang menggelap karena polusi keduniawian. saya pagi itu, kebagian jatah untuk disapa Tuhan, lewat video yang saya unggah di pembuka catatan ini. Video di atas adalah 1 dari 7 seri ‘Thailand insurance ad’ yang kesemuanya demikian sukses membuat saya tersedu-sedu sepanjang hari, bahkan otak saya tak mampu mencegah kelenjar air mata untuk tak over produksi. entah saya yang keterlaluan ‘cengeng’ atau iklan ini memang ‘superb’ dari segi ide, isi, dan inspirasinya.

Setiap akan berangkat dan sepulang kerja, saya selalu memutar video ini (dan 6 lainnya). Jika kita mau jujur, sebenarnya hati kita tak sepenuhnya dalam kondisi ‘sembuh dan sehat-sehat saja’. Masing-masing dari kita sebenarnya membutuhkan dokter pribadi, obat-obat khusus, dan perawatan hati yang berkala. ke -7 video itu, nyatanya menjelma menjadi dokter pribadi saya yang baru, yang seminggu ini menyediakan obat dan perawatan untuk hati saya yang tak sepenuhnya ‘sembuh dan sehat-sehat saja’.

Sendu Rindu (3)

2 komentar
… rindu itu, pak pos yang lupa alamatnya sendiri …

Kota ini, dua minggu terakhir panasnya mungkin bisa membuat telur matang mendadak. Bahkan di surat kabar lokal, konon panasnya mengalahkan suhu panas di Mekkah. Olala!. Beberapa malam terakhir saya bahkan tidur beralas karpet di depan TV. Saya paling benci bangun pagi dalam keadaan basah kuyup mandi keringat, entah sugesti atau bagaimana, sepanjang hari itu mood saya pasti sangat sulit dikendalikan. Hujan sempat mampir sebentar dini hari kemarin. saya langsung terlonjak dari tidur, membuka pintu kamar kos dan sensasi bau tanah di hujan pertama itu memang benar-benar memabukkan!

Panasnya  kota ini, ternyata tak cukup menyiksa pori-pori kulit saja. ia juga menerobos talamus-talamus otak dalam tempurung kepala saya. luar biasa ya efeknya? gerahnya lahir batin! kalau sudah begini, saya pasti merindukan sketsa –sketsa semesta yang alami. Beberapa tawaran ‘nongkrong’  dari teman saya abaikan, membaca rasanya jadi membosankan, instrumental Kenny G yang menenangkan juga jadi datar-datar saja. Sepertinya saya tau betul apa yang saya butuhkan .. 

Maya's Moment

0 komentar


I just wish I could roll back the clocks to when things were the same.
 then we were all just a bunch of crazy teenagers looking for a wild time.
But now, things aren't the same. Each of us have gone our different ways.
We change, people change, things just change, and we aren't those crazy teenagers looking for a wild time anymore. We're teenagers looking for a person to love and a person to hug when we're in need.

‘the beginning from our friendship – your wedding day’
 sept’ 05 – oct ’11


Maya siang itu, di pelaminan indahnya, terlonjak kegirangan seraya memeluk saya erat-erat. meluapkan kebahagiaannya yang tumpah ruah yang nampak jelas di garis-garis wajah bulatnya. Sedikit lebih kurus, mungkin sengaja dibuat demikian agar kebaya ungu emas itu lebih pas dikenakan. Maya siang itu, boleh jadi nama belakangnya tak lagi sama, tapi di mata saya, ia tetaplah gadis manja yang kepolosannya kadang membuat saya terpingkal dan mengurut dada. Untuk ketiga kalinya, 6 diantara kami telah menikah. meninggalkan 3 lainnya yang masih bersabar antri menunggu giliran.

Dalam sesi telepon seminggu sebelum hari pernikahan, maya dengan gaya polosnya berujar ‘kayaknya kamu yang terakhir deh cha, inget ga kaya urutan jadwal sidang skripsi. kamu tuh jadi penutupnya, gongnya, tapi nilai kamu yang paling bagus’. ah, dia masih sama. polos dan tanpa tendensi. kalimat itu pada akhirnya membuat saya memutar ulang kebersamaan kami dulu.

Tuesday, October 25, 2011

Ibuholic

0 komentar

A little girl, asked where her home was, replied, "where mother is".
(Keith L. Brooks)


Beberapa hari yang lalu, seorang karib –untuk kesekian kalinya- mengeluhkan tentang pola relasi ibu dan anak yang tengah ia alami. Spesifiknya, hubungan anak perempuan –yang sudah dewasa- dengan ibunya. pada prinsipnya, ia menjelaskan bagaimana ia kesulitan membangun komunikasi yang mesra dengan ibunya sendiri, bagaimana hasratnya tentang banyak hal tak bisa dikomunikasikan dengan mudah. kondisi itu pada akhirnya bermuara pada kekakuan dan kecanggungan yang semakin hari kian menggunung. tinggal menunggu untuk meletus. entah kapan.
Secara tak sengaja saya pun akhirnya turut membongkar relasi ibu dan anak yang saya punyai. saya merenungkan ini hampir 4 jam, di sela perjalanan ‘mudik’ tiap minggu ke sidoarjo. tanpa diduga, saya menemukan keluarbiasaan relasi ibu-anak dalam beberapa tahun terakhir, fase dimana saya harus jatuh bangun mengejar makna ‘dewasa’ .
Ibu, mustahil saya definisikan dengan satu makna. ia multivarian, lengkap, dan tak terduga. Ibu, -pola asuhnya- hampir selalu berlawanan dengan ayah hingga hari ini. Ibu, mewakili semua bentuk kelembutan, keteguhan dan kesabaran yang pernah saya jumpai selama 24 tahun  memeluk semesta. Ibu, selalu memberi ‘ide gila’ atas setiap rencana hidup yang saya impikan. Ibu, yang tiada lelah menyalakan kembang api saat langit saya terus dirundung mendung. Ibu, yang tiap kali saya sebut namanya dalam doa sepertiga malam, saya tak pernah kuasa menahan derasnya hujan di sudut-sudut mata.

Monday, October 24, 2011

Lelaki Bulan (1)

1 komentar



Pada sebuah sore yang biasa saja -setelah berhari-hari beku dalam kecanggungan karena belum kenal- kami akhirnya bercakap, yang menurutnya (mungkin) tanpa kesengajaan. Kami akhirnya bertemu lewat kata-kata, dengan jarak setipis laba-laba yang menggantung di jaring-jaringnya.  yang teramat lekat, saat ia berujar “ada bulan yang tertangkap sempurna, ketika aku justru tak berniat memotretnya”.

maka, kusebut saja ia lelaki bulan.


karena segala tentangnya adalah pucat pasi. senyumnya sekuning bulan yang menggigil kedinginan.

dan segala tentangnya adalah buram tanpa cahaya.

seburam retina menangkap ketenangan mata  yang berselimut sepi tanpa tepi

Wednesday, May 4, 2011

Memaknai Jarak & Keterpisahan

0 komentar


  
"Distance not only gives nostalgia, but perspective, and maybe objectivity"


 “jarak” seringkali menjadi sebuah kata sakti yang memuat banyak cerita . sebagai kata sakti, “jarak “ mampu membuat kita menjadi subyek yang terdera dalam sebuah keterpisahan. seringpula, keterpisahan enggan berlari sendiri, ia membawa serta kondisi-kondisi yang sebelumnya mendekap kita begitu erat dan mesra. secara frontal, jarak & keterpisahan seolah-olah merenggut paksa hangatnya tatapan ibu di pagi hari, mencuri renyahnya tawa ayah di beranda rumah, menyekap riuhnya celoteh riang saudara sedarah,  memisahkan kita dari obrolan tentang hidup di warung kopi dengan sahabat-sahabat terbaik atau mungkin yang paling menyiksa, menantang kita untuk bertahan dalam rindu yang berdebur-debur pada pasangan hati.

saya terusik menulis ini, tepat sebulan setelah saya pindah ke sebuah kota kecil di Jawa Timur bernama Tulungagung. Singkat cerita, akhir tahun lalu saya diterima menjadi abdi negara pada sebuah institusi kepemiluan, dan SK penempatan kerja menugaskan saya untuk berada di daerah ini. lalu, apakah reaksi saya ketika pertama kali mengetahui saya harus bertugas disini? MENANGIS.

Saya menangis bukan karena saya harus pindah di kota kecil  -yang dipandang dari segi fasilitas dan keriuhan akan sangat jauh berbeda dengan kota dimana saya berkuliah (Surabaya), juga bukan karena saya tak punya saudara atau teman barang satupun disana, saya menangis karena harus mengalami keterpisahan dengan atribut-atribut yang “melengkapi” hidup saya beberapa tahun ini. berat rasanya mengambil “jarak” dengan kenyamanan yang membuat saya tidak ingin bergeser kemana-mana, meski se- inci pun. Tapi timeline kehidupan memaksa kita untuk beranjak dari satu babak ke babak berikutnya, mau atau tidak mau, suka atau tidak suka.

Wednesday, February 2, 2011

Namanya Juan

1 komentar


Di tangan anak-anak, kertas menjelma perahu Sinbad yang tak takluk pada gelombang,
menjelma burung yang jeritnya membukakan kelopak-kelopak bunga di hutan. di mulut
anak-anak, kata menjelma Kitab Suci.
(di tangan anak-anak, Sapardi Djoko Damono, 1982.)


sekarang tiap pagi saya punya alarm khusus. bukan lagi weker atau alarm HP. sekarang tiap pagi ada yang menarik-narik jempol kaki saya, berdiri dengan taburan bedak yang belepotan, dan bau khas minyak telon. sekarang tiap pagi ada suara yang meracau di sudut tempat tidur, merengek minta premen yuppi. rengekan itu milik Juan, my baby boy.

Juan, anak tetangga saya. bungsu dari 2 bersaudara. umurnya memang baru 2 tahun. sedang giat-giatnya belajar ngomong. yang menyedihkan, dia tak punya teman. ayahnya tipe weekend father yang bekerja di luar kota, ibunya bekerja di perusahaan swasta yang berangkat sebelum juan bangun dan pulang kala ia sudah lelap. si kakak sibuk dengan full day scholl nya. satu- satunya teman setianya hanyalah si mbok, pembantu rumah tangga yang sudah 1 tahun bekerja di rumahnya.

tapi itu dulu, sekarang Juan tak lagi kesepian. dia sekarang menjadi sahabat terbaik saya di rumah. berawal dari kunjungan ibu saya ke rumahnya, Juan tiba-tiba nempel di gendongan ibu, tak mau turun. jadilah ia diboyong ke rumah, sepanjang hari dengan saya. si mbok kadang sampai kehabisan cara untuk membujuknya pulang.

Wednesday, January 26, 2011

Untukmu, Bapak presiden

1 komentar




Bapak presiden ..
kemarin sore aku mengeryitkan kening begitu rupa. saat melihatmu di layar televisiku mengeluh tentang gaji yang ‘segitu-segitu’ saja. gaji yang dibayarkan untuk pengabdianmu selama hampir 7 tahun terakhir kepada tanah yang aku dan engkau begitu cintai sama dalamnya, Indonesia. Aku sekali lagi mengernyitkan kening bapak presiden, saat lingkaran terdekatmu kemudian sibuk mencari alibi dalam membenarkan pidato mu hari itu. tapi sudahlah, aku menulis bukan untuk menghakimi kau salah atau benar. karena memang hanya Dzat yang maha adil yang bisa membuat penilaian seadil-adilnya tentang salah atau benar.

Bapak presiden ..
Yang aku pikirkan kemudian, hanyalah tentang reaksi jutaan kaum papa di luar sana, si penjual soto, si tukang tambal ban, si sopir angkot, si pemulung, atau si si yang lain. yang dalam perjuangan hidupnya di tanah air ini, harus memulai harinya begitu pagi dan pulang larut untuk sekedar mengenyangkan perut dan tidur nyenyak keluarganya hari itu. kalau boleh aku mengabarkan padamu bapak presiden, mereka tentu saja mencibir kecewa, menggeleng keheranan bahkan mengumpat kesal. reaksi yang sepantasnya menurutku, karena engkau lah tumpuan tertinggi mereka untuk sedikit perubahan taraf kesejahteraan, tapi apa jadinya kalau ternyata engkau sendiri malah berkeluh kesah tentang kesejahteraanmu yang 62 juta/bulan itu ? guyonan mu hari itu cukup mampu membuat mereka semakin enggan menyerahkan pengharapannya.

Bapak presiden ..
Maaf aku sedikit lancang, karena membuat perbandingan tentangmu dan seorang pemimpin lainnya. tidak, tak terbersit sedikitpun untuk menyudutkanmu. aku hanya ingin engkau berefleksi sedikit dengan perbandingan ini. kali ini tak akan kubandingkan kau dengan negarawan idolaku, soekarno. dia bukan tandinganmu. aku paparkan sedikit padamu tentang kesederhanaan pemimpin negara islam yang begitu aku hormati, sama seperti aku menghormatimu. dialah Mahmoud Ahmadinejad, pemimpin Negara Iran.

Tuesday, January 25, 2011

Shinta dan Pernikahan Pertama

1 komentar



Awal bulan lalu sebuah pesan singkat masuk di ponsel, sepintas lalu saya baca, tapi kalimat pembukanya membuat saya melonjak antusias sekaligus bingung harus berekspresi seperti apa. Pesan itu datang dari karib saya yang selalu jadi pusat informasi diantara kami berenam, Ceny.

“By the way, akad nikahnya sinta tanggal 18 n resepsinya tanggal 23 di Bondowoso.
 km bisa datang kan bunny?”


Seketika di menit yang sama saya membaca pesan singkat itu, saya merasa masih belum percaya bahwa satu diantara kami akan naik level kehidupan perempuannya, menjadi seorang istri. Rasanya baru kemarin kami berkenalan canggung di hari-hari pertama perkuliahan. waktu bergerak dalam kecepatan yang tak mampu kami kendalikan. waktu pula yang mengantar kami pada momen penting ini, pernikahan shinta.

Sebenarnya, rencana pernikahan shinta sama sekali tidak mendadak. saya dan yang lainnya sudah mengetahui itu jauh hari. sering dia mengadu tentang ribetnya mengurus tetek bengek untuk sebuah seremonial mengikat janji itu, saya –dan yang lain- cuma bisa mengangguk dan menenangkan kalau dia sudah mengadu begitu, bukannya tak bersimpati. kami hanya bingung mau memberi saran apa, karena tak ada seorangpun yang sudah menjalani persiapan pernikahan itu sebelumnya. ya, pernikahan shinta adalah pernikahan pertama diantara kami.

Monday, January 24, 2011

BETTER LATE THAN NEVER

1 komentar


Hubungan saya dengan dunia maya (re: internet) tak pernah terlalu intim sebenarnya. awalnya hubungan itu terbangun karena trend semata. Akhir SMA, internet menjajah dan mendominasi topik obrolan di ruang- ruang kelas, lorong sekolah, lapangan basket bahkan di setiap sudut kecil seperti parkir motor sekalipun. teman sebaya kala itu bak tenaga marketing yang fasih mendengungkan keasyikan berinternet. yang sedang booming kala itu chatting via MIRC, friendster dan teman temannya. sebagai remaja yang tak mau dilabeli ga gaul, saya ikut-ikutan mampir ke warung internet sepulang sekolah. mencuri jeda waktu sebelum bimbingan belajar, barang 1 atau 2 jam. itupun saya harus menyewa komputer dengan seorang teman. biaya sewa kala itu cukup mencekik karena aktifitas nge-warnet ini hampir saya lakukan setiap hari. demikian seterusnya hingga kuliah, pemanfaatan internet versi saya berputar di “itu-itu” saja. kalaupun ada yang bertambah hanyalah kunjungan rutin saya ke page google. sederhana sebabnya. karena disana saya temukan jutaan referensi untuk menunjang tugas paper dan makalah kuliah. that’s all. tak lebih.

Sampai suatu hari di medio 2008, ketika di ruang kuliah dan dosen perencanaan pembangunan dengan menggebunya menjelaskan soal efek bencana lumpur lapindo, saya sedang asyik sendiri. melakukan aktifitas “personal” yang membuat saya menjadi tuli sesaat. aktifitas “personal” itu menulis. tak ada yang spesial memang. hanya menulis, siapa saja bisa. tapi dimomen “menulis” itu saya seperti berlari dalam dunia yang semuanya punya saya. saya bebas mau melakukan apa saja. saya bebas membuat aturan apa saja. saya seperti membangun teritori yang kekuasaan absolutenya ada dalam genggaman saya seorang.

 

Riska Widya W Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos