Bapak presiden ..
kemarin sore aku mengeryitkan kening begitu rupa. saat melihatmu di layar televisiku mengeluh tentang gaji yang ‘segitu-segitu’ saja. gaji yang dibayarkan untuk pengabdianmu selama hampir 7 tahun terakhir kepada tanah yang aku dan engkau begitu cintai sama dalamnya, Indonesia. Aku sekali lagi mengernyitkan kening bapak presiden, saat lingkaran terdekatmu kemudian sibuk mencari alibi dalam membenarkan pidato mu hari itu. tapi sudahlah, aku menulis bukan untuk menghakimi kau salah atau benar. karena memang hanya Dzat yang maha adil yang bisa membuat penilaian seadil-adilnya tentang salah atau benar.
Bapak presiden ..
Yang aku pikirkan kemudian, hanyalah tentang reaksi jutaan kaum papa di luar sana, si penjual soto, si tukang tambal ban, si sopir angkot, si pemulung, atau si si yang lain. yang dalam perjuangan hidupnya di tanah air ini, harus memulai harinya begitu pagi dan pulang larut untuk sekedar mengenyangkan perut dan tidur nyenyak keluarganya hari itu. kalau boleh aku mengabarkan padamu bapak presiden, mereka tentu saja mencibir kecewa, menggeleng keheranan bahkan mengumpat kesal. reaksi yang sepantasnya menurutku, karena engkau lah tumpuan tertinggi mereka untuk sedikit perubahan taraf kesejahteraan, tapi apa jadinya kalau ternyata engkau sendiri malah berkeluh kesah tentang kesejahteraanmu yang 62 juta/bulan itu ? guyonan mu hari itu cukup mampu membuat mereka semakin enggan menyerahkan pengharapannya.
Bapak presiden ..
Maaf aku sedikit lancang, karena membuat perbandingan tentangmu dan seorang pemimpin lainnya. tidak, tak terbersit sedikitpun untuk menyudutkanmu. aku hanya ingin engkau berefleksi sedikit dengan perbandingan ini. kali ini tak akan kubandingkan kau dengan negarawan idolaku, soekarno. dia bukan tandinganmu. aku paparkan sedikit padamu tentang kesederhanaan pemimpin negara islam yang begitu aku hormati, sama seperti aku menghormatimu. dialah Mahmoud Ahmadinejad, pemimpin Negara Iran.