Wednesday, December 14, 2011

A Week of Sorrow


... Maka pada suatu pagi hari,
 ia ingin sekali menangis sambil berjalan tunduk sepanjang lorong itu.
 Ia ingin pagi itu hujan turun rintik-rintik dan lorong sepi agar ia bisa berjalan sendiri saja sambil menangis dan tak ada orang bertanya kenapa ...

( Pada Suatu Pagi Hari, Sapardi Djoko Damono, 1973)



Hypophrenia, sudah seminggu lebih mempermainkan laju emosi saya. Hypophrenia, semacam perasaan sedih yang muncul tanpa ada penyebab yang pasti. semua atribut yang melengkapi keseharian ‘terasa’ kacau, berantakan dan menjemukan. Andai di visualisasikan, mungkin seperti dikelilingi ribuan ‘dementor’ dalam serial Harry Potter, dementor yang tanpa ampun menghisap semua hawa bahagia dan menggantinya dengan kepedihan dan kehampaan tanpa ujung. seminggu ini, dunia rasanya berotasi demikian, terus menerus, bertubi-tubi …

Beberapa hari, berturut-turut , saya mudah sekali menangis. sekali lagi, tanpa sebab yang pasti. emosi saya mudah sekali tersudut dan tersulut. Melihat tukang becak yang bibirnya membiru karena kehujanan, saya menangis. Bangun di pagi hari dan mendapati sms ibu saya belum terbalas, saya menangis. berangkat kerja dan melihat gerombolan bocah berseragam SD tertawa riang, saya juga menangis. Makan, mengaji, bahkan sebelum tidur pun saya tak kuasa memerintah otak untuk tak ‘menganak-sungaikan’ air mata di pipi. mata saya rasanya panas. panas sekali..

Tak seperti biasanya, saya tak melawan. saya membiarkan kondisi ini terus berlarut-larut. saya biarkan ‘ia’ mengendap sedalam-dalamnya. entah karena terlalu lelah untuk melawan atau memang saya sedang tak punya amunisi untuk melawan. saya juga tak menghubungi siapapun untuk sekedar membagi keluh. Hypophrenia terlalu absurd untuk dijelaskan ke orang lain. sandaran terbaik hanyalah kepada ia yang ‘Maha Tahu’, sekalipun saya bungkam dalam kata dan hanya sanggup tersedu-sedu dalam doa..

Dan ternyata, absurditas hyphoprenia itu mewujud. Tepat akhir pekan di awal desember ketika saya pulang ke rumah. Hyphoprenia, mungkin menjadi semacam kode alam. Menjadi firasat akan terjadinya sejumlah ’kejutan’. Hyphoprenia seperti menjadi pre-condition agar kita siaga, bahwa sesuatu yang tak diingini bisa saja mendekat. dan itu memang terbukti ..

Pertama, kartu ATM dengan saldo terbesar (menurut kantong CPNS) mendadak raib! Dan fatalnya, saya menyadari itu minggu malam. Padahal terakhir kali saya mengunjungi ATM adalah jumat siang. Berbekal keyakinan kalau kartu ATM itu masih tertinggal di mesinnya, spekulasi horor berdesakan memenuhi kepala saya. Jumlah saldonya memang tidak fantastis, tetapi dari saldo itulah saya bertahan di belantara perantauan. Malam itu juga, saya putuskan ke TKP. Cuap-cuap dengan satpam, mencoba menjelaskan kejadian serealistis mungkin, dan akhirnya sampai pada satu kenyataan, tak ada laporan ATM yang tertinggal. Which is means, ATM saya tak berjejak, officially!

Kedua, saya bedrest dua hari. sabtu & minggu. Gejala sakitnya memang sudah terasa berhari-hari sebelumnya. Terutama di daerah perut dan punggung. Saya juga sempat ’jatuh konyol’ dari motor. Sakit itu terakumulasi. Tubuh dan jiwa saya memang terlampau mesra. Meminta jatah ’cuti’ pun harus berbarengan. Seperti biasa, Ibu yang memang punya bakat ’heboh’ langsung panik melihat saya tenggelam dalam kondisi yang demikian. Obat herbal dicekoki berkali-kali dalam sehari, tubuh saya luar bisa panas karena digosok dengan sejenis minyak yang saya tak tahu namanya. Ibu khawatir saya thypus, penyakit yang setia mengunjungi beberapa anggota keluarga di tahun-tahun terakhir ini ..

Ketiga, ini yang paling menyedihkan. minggu dini hari, suara parau diujung telepon mengabarkan, kakak ibu (budhe) saya meninggal. Yang membuat segalanya sangat sesak adalah kenyataan bahwa budhe saya itu, 2 minggu sebelumnya menginap di rumah. sudah dalam kondisi sakit, nafasnya berat dan memburu. Kunjungan budhe ke rumah adalah hari bersejarah. Sudah 20 tahun lebih ia tak bertemu ibu dan saudara lainnya. Budhe saya itu, ’adventurer’ sejati. diujung petualangannya, ia memilih mengunjungi ibu dibandingkan tiga adiknya yang lain. Masih terasa betul di telapak tangan saya, ketika saya mencium tangan budhe untuk berpamitan kembali ke Tulungagung, ia berujar gemetar supaya saya segera menikah dan diperistri pejabat. waktu itu saya mengangguk sambil tersenyum mengamini..

Keempat, demi apapun di dunia ini, tiada sesuatu yang lebih sedih selain melihat ibu bersedih. secara emosional saya tak terlalu dekat dengan budhe. tapi melihat ibu menangis tergugu, hati saya ikut berdarah meski tak terluka. Ayah mengupayakan segala cara untuk bisa ke Cirebon keesokan harinya. saya yang masih lunglai pun berusaha meyakinkan ibu bahwa saya sudah sehat sepenuhnya. biar lebih meyakinkan lagi, saya menyanggupi untuk kembali ke tulungagung keesokan harinya juga..
............................................................

Beberapa jam kemudian,

.............................................................
Saya sudah duduk mematung di kursi no 5 dari depan.  Hari masih pagi, bus sudah separuh perjalanan ke Tulungagung. Telinga kanan saya terasa panas setelah berjam-jam larut dalam obrolan di telepon. seorang teman hadir tepat pada waktunya untuk menenangkan. di luar gerimis hebat, sesekali saya mengusap kaca jendela yang buram berembun. Baterai laptop tinggal 20% saja. di layarnya, ada bayangan kuyu yang memantul. saya melihat serpihan ’hyphoprenia’ berlarian di layar yang sama. ATM yang hilang sudah saya blokir via call center, kondisi badan jauh lebih baik setelah ayah meluangkan 30 menitnya untuk memijit saya hingga tertidur. Keluarga besar  ibu di jatim juga tengah dalam perjalanan ke rumah duka di Cirebon.

Saya, menghela nafas dalam – dalam. Kejutan ’hyphoprenia’ telah tertangani dengan baik. bulir panas meleleh lagi. Magically, ada sensasi lega membanjiri dada. mungkin, karena kali ini saya menagis untuk sebuah alasan, bahwa babakan suram ini akhirnya terlewati. semoga desember masih menyisakan celah untuk tersenyum . Baterai sudah 10%, saya harus buru-buru menyudahi catatan ini ..

*mengusap mata yang membasah*







Monday Morning. 08.10-08.35
di ujung kota kediri,
di atas bus harapan jaya yang lengang
di temani dangdut koplo ’ABG tua’



0 komentar:

Post a Comment

 

Riska Widya W Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos