Wednesday, May 4, 2011

Memaknai Jarak & Keterpisahan



  
"Distance not only gives nostalgia, but perspective, and maybe objectivity"


 “jarak” seringkali menjadi sebuah kata sakti yang memuat banyak cerita . sebagai kata sakti, “jarak “ mampu membuat kita menjadi subyek yang terdera dalam sebuah keterpisahan. seringpula, keterpisahan enggan berlari sendiri, ia membawa serta kondisi-kondisi yang sebelumnya mendekap kita begitu erat dan mesra. secara frontal, jarak & keterpisahan seolah-olah merenggut paksa hangatnya tatapan ibu di pagi hari, mencuri renyahnya tawa ayah di beranda rumah, menyekap riuhnya celoteh riang saudara sedarah,  memisahkan kita dari obrolan tentang hidup di warung kopi dengan sahabat-sahabat terbaik atau mungkin yang paling menyiksa, menantang kita untuk bertahan dalam rindu yang berdebur-debur pada pasangan hati.

saya terusik menulis ini, tepat sebulan setelah saya pindah ke sebuah kota kecil di Jawa Timur bernama Tulungagung. Singkat cerita, akhir tahun lalu saya diterima menjadi abdi negara pada sebuah institusi kepemiluan, dan SK penempatan kerja menugaskan saya untuk berada di daerah ini. lalu, apakah reaksi saya ketika pertama kali mengetahui saya harus bertugas disini? MENANGIS.

Saya menangis bukan karena saya harus pindah di kota kecil  -yang dipandang dari segi fasilitas dan keriuhan akan sangat jauh berbeda dengan kota dimana saya berkuliah (Surabaya), juga bukan karena saya tak punya saudara atau teman barang satupun disana, saya menangis karena harus mengalami keterpisahan dengan atribut-atribut yang “melengkapi” hidup saya beberapa tahun ini. berat rasanya mengambil “jarak” dengan kenyamanan yang membuat saya tidak ingin bergeser kemana-mana, meski se- inci pun. Tapi timeline kehidupan memaksa kita untuk beranjak dari satu babak ke babak berikutnya, mau atau tidak mau, suka atau tidak suka.

Andaikan patahan hidup saya diputar ulang, saya sebenarnya berteman cukup akrab dangan jarak ataupun keterpisahan. semasa kuliah saya memutuskan indekost di surabaya, meskipun jarak rumah  (Sidoarjo) dengan kampus cukup ditempuh dalam kisaran 1 jam. Tapi dalam sebuah ruang bernama “kos-kosan” saya menata balok demi balok untuk membangun rumah kemandirian, tanggung jawab, kebebasan dan persahabatan. bahkan, sebelum wisuda saya sudah bekerja di sebuah kampus swasta di Mojokerto untuk menjadi peneliti disana, meskipun pada akhirnya tak bertahan lama. atau yang paling seru dan mengenaskan, ketika saya menginjakkan kaki di ibu kota dengan status job seeker. beberapa minggu dalam dekapan jakarta, saya sesak napas bukan kepalang. sungguh hanya serangkaian jadwal tes masuk di sejumlah instansi yang membuat saya bertahan di sana.

Namun, tepat sebulan saya bertamu ke tulungagung, makna keterpisahan yang menyakitkan perlahan memudar. seperti tengah menyaksikan drama kehidupan dalam layar super besar, saya menjadi satu-satunya penonton yang melihat hal-hal baru berlarian dalam hari-hari saya sebulan ini. semua hal itu seakan mensubtitusi atribut-atribut yang saya tinggalkan di babak kehidupan sebelumnya. dan menurut saya, hal-hal baru tersebut akan lebih mudah kita deteksi, andaikan kita -yang mempunyai keterpisahan- mau sedikit berdamai dengan rasa sakit  dalam keterpisahan itu sendiri.

satu dari sekian hal baru itu ialah tentang rutinitas perjalanan akhir pekan yang saya tempuh untuk sampai ke rumah. setiap minggu saya memang masih pulang ke sidoarjo, biasanya jumat sore saya sudah celingukan di terminal bungurasih, mencari ayah yang selalu antusias menjemput gadis sulungnya. tapi yang mengesankan adalah perjalanan membelah kota demi kota antara tulungagung-sidoarjo. percaya atau tidak, saya selalu dibuat terlongo-longo melihat langit biru dengan awan yang berarak berkejaran. kadang kepala saya sampai ngilu karena terlalu lama mendongak. ada semacam perasaan bahwa langit yang saya lihat di kota – kota yang saya tinggali sebelumnya tidak sebersih dan sejernih ini. bahkan saya selalu tersenyum simpul sendiri manakala melihat pucuk pucuk padi & batang tebu yang bergoyang menari, pasrah dibelai angin. ada semacam sensasi kesejukan di lubuk hati.

lebih seru lagi kalo hujan, tetes –tetes air yang berlarian di kaca jendela, selalu berhasil membuat tangan saya bergerak mengusap bercak-bercak embun yang hadir. seperti anak kecil, saya menggambar seadanya pada kaca buram yang berair itu. biasanya saya menuliskan inisial nama orang-orang yang saya ridukan. jika lelah, maka saya hanya diam. memandang alur air yang membentuk jelujur tak beraturan. dalam fragmen seperti itu, saya tenggelam dalam romantisme kenangan. disadari atau tidak, hujan adalah elemen paling esensial untuk berlari dalam lorong waktu, sekedar membongkar masa lalu atau bercakap tentang kejutan masa depan. kaca-kaca yang  berair itu seolah menjadi cermin tentang apa yang sudah terlewati atau terabaikan. kalau boleh jujur, inilah “me time” terbaik sepanjang hidup.

dan ini belum selesai, parodi kehidupan  berdurasi 3 jam itu juga hadir lewat wajah-wajah keras pedagang asongan. saya sering menerka – nerka dalam hati, sudah berapa banyak rupiah yang berhasil mereka kantongi hari itu. dan ajaibnya, saya harus menahan diri mati-matian untuk tidak membeli setiap jajanan yang disuguhkan di depan mata saya. karena selalu saja hati saya luruh dalam tatapan penuh harap pedagang-pedagang yang umurnya beranjak senja itu. di minggu pertama pulang ke Sidoarjo, saya menghabiskan 15 ribu untuk membeli aneka jajanan dan minuman. pemandangan seperti itu seolah menghentakkan alam pikiran terdalam, bahwa kesakitan akan keterpisahan, hanyalah secuil perjuangan atas nama cita-cita. sangat tak layak dikeluhkan jika disandingakn dengan kesakitan dalam perjuangan hidup wajah-wajah pedagang yang saya jumpai tiap minggu, antara Tulungagung-Sidoarjo.

Beberapa hari yang lalu, seorang teman menelepon, lantas dengan antusias saya menceritakan keluarbiasaan parodi kehidupan 3 jam itu, tapi yang ada saya dilabeli “aneh dan udik”. mungkin teman saya tidak sepenuhnya salah, tapi sungguh dalam lintasan sejauh ratusan kilometer itu saya memandang jarak dan keterpisahan dalam makna yang berbeda. saya bisa melihat segalanya lebih dekat. tidak mutlak hitam dan putih, bahwa ada semburat abu-abu yang bisa menjadi jalan tengah diantara keduanya.
Dua hari yang lalu, saya kembali ditautkan dengan “jarak dan keterpisahan”. seorang teman yang lain di terima menjadi pengajar muda dalam program INDONESIA MENGAJAR yang diprakarsai oleh Anis Baswedan, rektor Universitas Paramadina. secara garis besar program ini menempatkan sarjana-sarjana terbaik untuk menjadi tenaga pengajar di sekolah dasar terpencil di seluruh penjuru nusantara selama 1 tahun. setelah membuka official sitenya, saya baru menyadari betapa saya begitu berbangga akan capaian teman saya ini. Jumlah peserta seleksi menyentuh angka ribuan, sementara yang diterima hanya 50 orang. teman saya masuk dalam angkatan ke-2 dan rencananya akan di tempatkan di Aceh. 

Melalui telepon, saya bisa menangkap aroma bahagia dan kecemasan dalam nada bicara teman saya itu. untuk menenangkan, saya menceritakan sisi positif tentang  “jarak dan keterpisahan” yang sudah saya alami. tak cukup dengan itu, saya menjanjikan bahwa saya akan mengirimkan item-item yang dibutuhkan oleh murid “laskar pelangi nya”. meskipun dengan kuantitas yang disesuaikan dengan kedalaman kantong saya. Bahkan sempat terbersit rencana gila untuk mengganti destinasi liburan akhir tahun dengan berkunjung ke sekolah kecil di Aceh itu.

Lalu malam ini, renungan saya tentang “jarak dan keterpisahan” makin menggenap. setelah dengan sengaja saya membuka ulang memori tentang khayalan masa depan. impian tertinggi saya adalah menjadi pengajar atau penulis. entah mengapa, sepertinya lewat impian itu, harmonisasi hidup akan terasa lebih dinamis. saya membayangkan mempromosikan buku dari satu tempat ke tempat lain,  membayangkan belajar dari satu negara ke negara lain. dan jika khayalan itu saya pertahankan, maka “jarak dan keterpisahan” akan selalu ambil bagian dalam setiap kepingan hidup saya kelak.

maka ketika tulisan ini akan saya akhiri, saya sempatkan berdoa. semoga sahabat hidup saya kelak juga  mengalami makna “jarak dan keterpisahan” yang saya rasakan. dengan begitu, ia tanpa ragu menganugerahi saya dengan “cinta yang membebaskan”, cinta yang memungkinkan saya memeluk impian tertinggi saya itu…








0 komentar:

Post a Comment

 

Riska Widya W Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos