Monday, January 24, 2011

BETTER LATE THAN NEVER



Hubungan saya dengan dunia maya (re: internet) tak pernah terlalu intim sebenarnya. awalnya hubungan itu terbangun karena trend semata. Akhir SMA, internet menjajah dan mendominasi topik obrolan di ruang- ruang kelas, lorong sekolah, lapangan basket bahkan di setiap sudut kecil seperti parkir motor sekalipun. teman sebaya kala itu bak tenaga marketing yang fasih mendengungkan keasyikan berinternet. yang sedang booming kala itu chatting via MIRC, friendster dan teman temannya. sebagai remaja yang tak mau dilabeli ga gaul, saya ikut-ikutan mampir ke warung internet sepulang sekolah. mencuri jeda waktu sebelum bimbingan belajar, barang 1 atau 2 jam. itupun saya harus menyewa komputer dengan seorang teman. biaya sewa kala itu cukup mencekik karena aktifitas nge-warnet ini hampir saya lakukan setiap hari. demikian seterusnya hingga kuliah, pemanfaatan internet versi saya berputar di “itu-itu” saja. kalaupun ada yang bertambah hanyalah kunjungan rutin saya ke page google. sederhana sebabnya. karena disana saya temukan jutaan referensi untuk menunjang tugas paper dan makalah kuliah. that’s all. tak lebih.

Sampai suatu hari di medio 2008, ketika di ruang kuliah dan dosen perencanaan pembangunan dengan menggebunya menjelaskan soal efek bencana lumpur lapindo, saya sedang asyik sendiri. melakukan aktifitas “personal” yang membuat saya menjadi tuli sesaat. aktifitas “personal” itu menulis. tak ada yang spesial memang. hanya menulis, siapa saja bisa. tapi dimomen “menulis” itu saya seperti berlari dalam dunia yang semuanya punya saya. saya bebas mau melakukan apa saja. saya bebas membuat aturan apa saja. saya seperti membangun teritori yang kekuasaan absolutenya ada dalam genggaman saya seorang.


Dalam momen seperti itu, saya semacam diselubungi lapisan kedap suara yang berlapis lapis. biasanya, juga akan diikuti dengan dendangan lirih dan teratur, kaki kiri menganguk angguk di bawah kursi, dan tangan menopang di dagu. kalau sudah begitu teman- teman karib saya sudah memahaminya. dan saya tak akan pernah diganggu. kalaupun mereka ingin tahu, mereka tak pernah bertanya, cukup melongokkan kepalanya beberapa centi mendekat ke saya, mengamati dengan sekedarnya apa yang membuat saya lagi- lagi “autis” di kuliah hari itu. waktu itu saya menulis tentang “efek traumatis metode ujian seorang dosen super killer” yang membuat saya dan teman-teman seperti terpidana mati menjelang detik-detik eksekusinya. berdebar, galau, dan lebih rajin berdo’a.

tiba-tiba teman saya yang sedari tadi numpang membaca, Maya, memberi tepukan di bahu.

“ kenapa ngga bikin blog aja sih , cha? sayang tuh tulisannya.” ujarnya
“ ha? apa? blog? ga ah, malu! “ jawab saya
“ lho ngapain malu, Mas Dimas ( re: pacarnya) juga suka nulis trus dia bikin blog. aku sering baca blognya. seru kok ” timpalnya.
“ ya deh ntar kalo udah ga malu ” saya menjawab sekenanya.

Ok. Blog. teman saya yang manis itu memberi satu kosa kata baru. jangan dikira percakapan itu sepintas lalu. beberapa hari setelahnya saya mulai mencari tahu apa itu blog dan tetek bengeknya. dengan pengetahuan saya yang sangat amat dangkal sekali tentang penggunaan internet kala itu, saya berkesimpulan TIDAK MEMBUAT BLOG. alasannya 3 M. Malu, Malas dan Mampus. kira-kira seperti ini pembenarannya.

Malu, Sejak kecil saya memang “diary lovers”. gila-gilaan saya menyisihkan uang jajan untuk sekedar membeli kertas diary bergambar lucu dan berwarna ceria. setelah terbeli, saya tulisi macam-macam. mayoritas tentang deskripsi mengenai bioadata teman hingga surat menyurat dengan tetangga bangku sebelah. kebiasaan itu berlanjut sampai remaja, bahkan sewaktu SMA “diary cengeng” saya menjadi konsumsi rutin teman–teman dekat. setiap beberapa hari sekali mereka rutin mengecek apakah saya “mempost” tulisan yang baru atau tidak. dan selalu mereka akan tersenyum geli, terbahak- bahak atau bersimpati sebagai reaksi atas tulisan saya di “diary cengeng” itu. saya tak pernah keberatan, karena yang membaca adalah teman teman di lingkaran terdekat. tanpa membaca diary itupun, mereka sudah sangat tahu apa yang terjadi sekaligus apa yang saya rasakan.

Tapi ini berbeda ketika masa kuliah, saya tak lagi membeli kertas warna warna itu, saya mulai menggunakan komputer sebagai media menulis. saya tak memakai aplikasi khusus, hanya menulis di MS. Word dan dikumpulkan dalam satu folder yang bernama “KATA HATI”. dari sinilah tragedy “Malu” berkepanjangan bermula. berawal dari komputer nge -hang karena ribuan virus sudah beranak pinak di dalamnya, saya meminta bantuan seorang teman laki-laki untuk menyembuhkan komputer saya yang tengah sakit. tetapi rupanya, teman saya punya ketertarikan yang terlalu besar, alih alih menyembuhkan dia malah dengan tekun membuka folder keramat yang berisi tulisan- tulisan seorang gadis polos dan lugu berusia 20 tahun ! lebih kacau lagi, dia memprint-out semua tulisan yang dianggapnya menarik untuk ditempel di papan agenda kegiatan di sebuah sekretariat organisasi yang sama-sama kami ikuti.

Jadilah tulisan saya yang ‘dangdut’ dinikmati banyak orang. aduh, rasanya ingin sekali masuk ke lapisan bumi paling dalam. mengubur diri disana sembari berharap setelah keluar saya masuk di peradaban yang berbeda. akibat kejadian itu, saya menjadi sangat keep tightly terhadap semua tulisan saya. rasa malu menjadi faktor utama yang mendukung saya untuk tidak coba-coba dengan blog. dibaca rekan sekampus saja malunya bikin saya gondok habis-habisan. apalagi ini sengaja di share ke ruang publik yang artinya memberikan kesempatan seluas luasnya kepada setiap manusia di belahan bumi manapun untuk membacanya. oh .. big no no !

Malas, sebagai mahasiswa yang major kuliahnya di bidang pemerintahan dan politik, saya memang tak dituntut lebih untuk mengerti fitur atau aplikasi yang ada di internet. dan tiadanya tuntutan ini sukses membuat saya sangat gagap teknologi. membuka page blogger, melihat isi di dalamnya, ada template, layout, HTML, widget- widget dan banyak lainnya membuat saya malas untuk masuk ke dunia blog. ruwet sekali menurut pendapat seseorang yang -sekali lagi- gagap teknologi. batin saya waktu itu, lebih asyik berseluncur di facebook atau mendownload film film terbaru. rasa malas ini menjadi factor pendukung ke 2 yang membuat saya ogah-ogahan nge blog. dan yang terakhir …

Mampus, saya berkuliah di kota seberang dengan predikat sebagai anak kos yang hidup mewahnya berkisar antara tanggal 1-15 saja. selebihnya saya harus pandai mengatur ritme neraca keuangan agar bisa bertahan hidup. andai saya memutuskan membuat blog maka harus ada budget tambahan untuk itu. karena saya harus mengeluarkan rupiah untuk sekedar menjenguk blog atau mempost tulisan disana. ah, sayang sekali rasanya harus mengencangkan pengeluaran saya yang lain, apalagi untuk pengeluaran khas gadis muda yang dirongrong modernitas kota seperti belanja dwi mingguan, aksesoris ini itu, majalah -majalah dan girl things lainnya. saya takkkan sampai hati memotong anggaran untuk pengeluaran khas itu. seperti gadis 20 tahun kebanyakan, naluri ini berhasil membuat saya semakin antipati dengan blog.

Sampai akhirnya di penghujung 2010 , saya mengalami pergeseran pemikiran mengenai internet. situasinya sekarang memang sudah amat berbeda. lebih dari 6 bulan saya lulus kuliah dan keintiman saya dengan peergroup mulai berkurang, juga dengan pengeluaran untuk girl things yang tidak lagi menggebu seperti dulu. saya mulai menata pecahan-pecahan kecil dunia baru yang akan saya bangun pasca kelulusan. dengan akses internet pribadi yang saya miliki sekarang, saya lebih leluasa untuk berlarian di internet, termasuk untuk melirik lagi BLOG yang dulu saya tolak mentah – mentah. seiring dengan mindset yang berubah, saya merasa blog tidak seruwet dulu. dengan rajin, saya masuk ke blog satu ke blog lainnya, membaca contentnya, mengamati detil designnya, menebak nebak manfaatnya, saya merasa mulai jatuh cinta dengan blog.

Rasa cinta ini semakin menguat tatkala saya membaca tulisan di blog Dewi Lestari yang berjudul “Nge-Blog : Perjalanan Panjang Dengan Hati“. tulisan itu sebenarnya dimaksudkan untuk mereview pandangan Dee, sapaan akrabnya, atas buku dengan judul yang sama karangan Pak Wicaksono atau dikenal dengan nama beken Ndoro Kakung. yang membuat saya tercenung adalah penggalan tulisan seperti berikut :

“ Kita sudah melihat contoh-contoh blog yang sukses dengan fenomenal, salah satunya blog Raditya Dika, yang tak hanya berhasil dibukukan, bahkan sekarang ia hadir dalam bentuk sinema. Suatu lompatan yang luar biasa. Dalam satu forum bedah buku di mana saya bertemu Dika dan mengobrol langsung dengannya, dia dengan tegas berkata, awal dia nge-blog pun semata-mata untuk kepuasan sendiri saja (dan itu memang tergambar cukup jelas dari blognya). Saat tren buku jadi blog belum populer, berbekal keyakinan akan otentisitasnya, Dika lalu nekat mendatangi kantor Gagas Media dan meyakinkan sendiri pada redakturnya bahwa blognya unik, menarik, dan layak terbit.

Tidak semua dari kita senekat Dika, atau sepiawai Ndoro Kakung. Tapi satu benang merah yang bisa kita lihat dengan jelas dari profil para blogger kawakan tersebut adalah: they write with passion. They write for a long run. Yang artinya, mereka menulis dengan semangat hati. Dan mereka tak berhenti. Formula sederhana itu dapat diaplikasikan pada kita semua. Tidak harus sering, tidak harus jadi posting yang populer, tidak harus bagus, tapi menulislah dari hati. Dan menulislah terus.

Sampai pada titik ini saya merasa tertinggal di peradaban pra sejarah, semua sudah mendengungkan passion dalam nge blog tetapi saya masih berdiam diri di garis ragu-ragu antara mau nge blog apa tidak. Raditya Dika yang usianya terpaut empat hitungan jari sudah menghasilkan 6 buku best seller dari blognya itu. bahkan mungkin si empu blog meradang bosan karena sudah ribuan posting yang termuat disana. terdorong semua alasan di atas, akhirnya saya membuat satu lompatan kecil dalam pemanfaatan internet yaitu MEMBUAT BLOG. Saya memutuskan untuk melawan penyakit 3 M (Malu, Malas dan Mampus) yang dulu menjadi alibi konyol untuk bertahan di zona nyaman. terdengar terlambat sekali memang, tapi tak apalalah, setidaknya saya mencoba dulu perjalanan ini. yang seperti Ndoro kakung bilang “Nge-blog dengan hati”. dalam kasus ini, saya berprinsip BETTER LATE THAN NEVER!


Satu lagi, penggalan dari buku Ndoro Kakung yang akan saya jadikan pegangan dalam perjalanan nge blog nanti, begini katanya :

“Mengisi blog bukan seperti ikut lomba lari jarak pendek; melejit begitu bendera start dikibaskan untuk berhenti segera dalam tempo singkat. Mengelola blog itu ibarat lari maraton, mungkin lebih jauh lagi. Begitu mulai, kita tak perlu bergegas. Atur kecepatan dan napas, juga irama. Perjalanan begitu panjang. Kita tak perlu buru-buru berhenti.”

So, Hi Blogmates !

Officially, I’m in …





1 komentar:

Anonymous said...

ahahahaha, menulis itu memang membutuhkan keberanian yang luar biasa. Apalagi ketika tulisan itu dibaca orang. Beuh, ibarat senjata api udah ditodong ke kepala kita. Tak berkutik, diam, dan akhirnya hehe, sambil nyengir kuda kita berkata, bagaimana tulisan saya?

aku pernah lebih parah mbak. Diaryku yang full dunia abg dibaca my beloved mama. after that, i decided to write in my comp. u know what? my beloved father read it. Kiamat deh! x_X.

tapi yasudahlah, kalau udah urusan mama dan papa aku pasrah. Toh, there is no hety without them hehe.

ayo, mbak tetap semangat ngeblog. kita penuhi dunia ini dengan kata2.

oia, ada quote bagus :
"Jika umurmu tak sepanjang umur dunia, sambunglah dengan tulisan." (Pramoedya Ananta Toer)

Post a Comment

 

Riska Widya W Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos