Tuesday, October 25, 2011

Ibuholic


A little girl, asked where her home was, replied, "where mother is".
(Keith L. Brooks)


Beberapa hari yang lalu, seorang karib –untuk kesekian kalinya- mengeluhkan tentang pola relasi ibu dan anak yang tengah ia alami. Spesifiknya, hubungan anak perempuan –yang sudah dewasa- dengan ibunya. pada prinsipnya, ia menjelaskan bagaimana ia kesulitan membangun komunikasi yang mesra dengan ibunya sendiri, bagaimana hasratnya tentang banyak hal tak bisa dikomunikasikan dengan mudah. kondisi itu pada akhirnya bermuara pada kekakuan dan kecanggungan yang semakin hari kian menggunung. tinggal menunggu untuk meletus. entah kapan.
Secara tak sengaja saya pun akhirnya turut membongkar relasi ibu dan anak yang saya punyai. saya merenungkan ini hampir 4 jam, di sela perjalanan ‘mudik’ tiap minggu ke sidoarjo. tanpa diduga, saya menemukan keluarbiasaan relasi ibu-anak dalam beberapa tahun terakhir, fase dimana saya harus jatuh bangun mengejar makna ‘dewasa’ .
Ibu, mustahil saya definisikan dengan satu makna. ia multivarian, lengkap, dan tak terduga. Ibu, -pola asuhnya- hampir selalu berlawanan dengan ayah hingga hari ini. Ibu, mewakili semua bentuk kelembutan, keteguhan dan kesabaran yang pernah saya jumpai selama 24 tahun  memeluk semesta. Ibu, selalu memberi ‘ide gila’ atas setiap rencana hidup yang saya impikan. Ibu, yang tiada lelah menyalakan kembang api saat langit saya terus dirundung mendung. Ibu, yang tiap kali saya sebut namanya dalam doa sepertiga malam, saya tak pernah kuasa menahan derasnya hujan di sudut-sudut mata.
Ibu saya, tak lahir dari rahim peradaban modern yang personifikasinya hadir lewat perempuan berkarier cemerlang, mengerti mode dan branded fashion, atau seminggu sekali berkumpul di coffe sho untuk sekedar reuni dan arisan. Ibu saya, produk konvensional dengan tampilan luar biasa sederhana. sejarah akademisnya tamat di bangku SMA, yang ia pahami di luar kepala hanyalah prediksi harga bahan makanan yang akan naik, yang ia kuasai betul hanyalah menyeimbangkan neraca keuangan sehingga tak bangkrut di akhir bulan. Ibu saya, yang sangat nyaman dengan daster batik gombrongnya. Ibu saya, 24 jam waktunya diabdikan untuk Tuhan dan kami –ayah, saya dan 2 orang adik-.
Hingga SMA, hubungan saya dan ibu sangat fluktuatif. bisa dikatakan, cenderung tak dekat secara emosional. Beberapa kali saling ‘gondok’ karena argumentasi yang bertolak belakang. karenanya, saya besar sebagai anak ayah. sebagaimana adagium yang menyatakan bahwa “anak perempuan cenderung dekat kepada orang tua laki-laki”, saya pun mengalami masa – masa itu. Oleh ayah, saya selalu dilindungi, dimanjakan, dimaklumi dan dibenarkan. Ayah hampir selalu memperlakukan saya seperti gadis 5 tahunnya yang baru belajar naik sepeda.
Hingga akhirnya, relasi anak dan orang tua yang sudah mapan bertahun-tahun itu berubah. dan yang paling merasakan perubahan itu adalah saya dan ibu. karena yang berproses memang kami berdua. ayah tetap pada gaya asuhnya yang seperti dulu walaupun intensitasnya perlahan-lahan berkurang. saya, dalam 4 jam perenungan, tak jua mampu berpikir sebab musabab perubahan relasi antara saya dan ibu. yang mampu saya ingat hanyalah kapan relasi itu mulai berubah dan peristiwa yang menandainya.
Persisnya, menginjak semester 3 di tahun – tahun awal saya berkuliah. Ibu dan saya, secara bersamaan mengutarakan ke ayah untuk mengenakan jilbab. keinginan yang tak pernah direncanakan bersama sebelumnya. keinginan –yang sepertinya- direncanakan Tuhan untuk merekatkan hubungan kami berdua. dan benar saja, tanpa saya bisa jelaskan rantai kimiawinya, saya dan ibu tiba-tiba saja dekat. kami mendiskusikan tentang Tuhan, tentang hidup, tentang makna bahagia, tentang cinta, tentang persahabatan, tentang rahasia dan aib masa silam, tentang apapun. Ritual itu berlanjut setiap malam sebelum kami tidur, hingga hari ini ..
Dalam kurun waktu hampir 4 tahun ritual itu berlangsung, saya perlahan menyadari bahwa perempuan yang selalu menyibak anak-anak rambut saya ini, sosoknya tidaklah sesederhana yang saya kira. dalam kurun waktu itu pula, saya mengenal ibu sebagai sosok yang sejajar, real dan apa adanya. dan bukannya Sang Pemberi Kehidupan, Sang Pemberi Makan, Sang Pengayom, Sang Pelindung, atau Sang Pengasuh. Saya mengenal ibu sebagai seorang manusia yang utuh.
Hubungan itu pada akhirnya membuat kedekatan saya berbalik arah. saya tergila-gila pada ibu. saya kecanduan ide dan semangatnya. pada titik ini, seringkali saya merasa pola asuh ayah cenderung menjerat dan melenakan. perbandingan sederhananya begini.
Jika ayah rela cuti dari kerjanya semata untuk menemani saya ke jakarta dengan status jobseeker maka ibu dengan tegas berujar ‘biar berangkat sendiri, anakmu bisa jaga diri’, Jika ayah mewanti-wanti saya untuk naik kereta eksekutif demi kenyamanan dan keamanan, maka ibu dengan enteng menyahut ‘ naik kereta ekonomi lebih seru, perjuangannya lebih kerasa’, Jika ayah menangis tanpa terisak begitu tahu saya ditempatkan kerja di luar kota maka ibu dengan tenang memegang tangan saya sembari berkata ‘orang sukses memang harus merantau’ , Jika ayah meminta saya melanjutkan pasca sarjana di almamater yang sama, maka ibu menantang saya untuk berburu beasiswa dan terbang jauh ke Belanda, ‘barangkali bisa kecantol bule katanya’, Jika ayah mulai menggoda dengan topik seputar pernikahan, maka ibu menyambar seperti tersengat listrik ribuan volt ‘jangan buru-buru menikah, senangkan diri dulu, sebebas yang kamu mau’
            Semua sikap ibu itu, disadari atau tidak adalah refleksi pribadi ibu yang sebenarnya. ia yang menikah di usia yang teramat muda, ia yang kecewa karena tak mampu mengenyam pendidikan setinggi-tingginya, ia yang kecewa karena ruang aktualisasinya dibatasi oleh tembok bernama rumah, ia yang tak sempat mengejar ambisi-ambisi pribadi. ia, yang pada akhirnya menginginkan saya tak mengulagi patahan hidup yang pernah ia alami. sebagaimana jargon sederhana yang selalu ia tekankan di setiap akhir ritual diskusi malam kami ‘bahwa pengalaman mengajarkan segalanya’.
            Sebagai anak, saya tentu berusaha sekuat tenaga mengangkat ibu dari kubangan ‘penyesalannya’. Memang tak banyak yang bisa saya lakukan. saya hanya mampu mengantar Ibu ke toko buku dan membelikan tiap seri novel Mira W kesukaannya, saya hanya mampu menebalkan kepercayaan dirinya untuk berani tampil di panggung 17 agustus beberapa bulan lalu, saya hanya mampu mengajarinya sedikit tentang seni memimpin hingga akhirnya ia dipilih menjadi ketua PKK di kompleks kami, saya hanya mampu mengajarinya teknik bertanya di depan umum saat pengambilan raport si bungsu. sejauh ini, hanya itu yang mampu saya lakukan. dan semoga ini bukan perasaan saya saja, saya merasa Ibu sangat menikmati peran-peran barunya itu..
            Barangkali, tak selamanya kebahagiaan itu mewujud dalam materi dan gelimang kemewahan. Relasi saya dan ibu adalah contoh kebahagiaan hakiki yang tak hentinya saya syukuri. Sungguh kesempatan yang langka, kesempatan yang mungkin tak dimiliki setiap anak perempuan, untuk mengenal ibunya sebagai manusia seutuhnya.

“It's so good to know that wherever you are, a Mom is with you in spirit and in love.”

0 komentar:

Post a Comment

 

Riska Widya W Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos