Monday, October 31, 2011

Maya's Moment



I just wish I could roll back the clocks to when things were the same.
 then we were all just a bunch of crazy teenagers looking for a wild time.
But now, things aren't the same. Each of us have gone our different ways.
We change, people change, things just change, and we aren't those crazy teenagers looking for a wild time anymore. We're teenagers looking for a person to love and a person to hug when we're in need.

‘the beginning from our friendship – your wedding day’
 sept’ 05 – oct ’11


Maya siang itu, di pelaminan indahnya, terlonjak kegirangan seraya memeluk saya erat-erat. meluapkan kebahagiaannya yang tumpah ruah yang nampak jelas di garis-garis wajah bulatnya. Sedikit lebih kurus, mungkin sengaja dibuat demikian agar kebaya ungu emas itu lebih pas dikenakan. Maya siang itu, boleh jadi nama belakangnya tak lagi sama, tapi di mata saya, ia tetaplah gadis manja yang kepolosannya kadang membuat saya terpingkal dan mengurut dada. Untuk ketiga kalinya, 6 diantara kami telah menikah. meninggalkan 3 lainnya yang masih bersabar antri menunggu giliran.

Dalam sesi telepon seminggu sebelum hari pernikahan, maya dengan gaya polosnya berujar ‘kayaknya kamu yang terakhir deh cha, inget ga kaya urutan jadwal sidang skripsi. kamu tuh jadi penutupnya, gongnya, tapi nilai kamu yang paling bagus’. ah, dia masih sama. polos dan tanpa tendensi. kalimat itu pada akhirnya membuat saya memutar ulang kebersamaan kami dulu.

Maya itu, paling manja dalam hal apapun. Mungkin itu nature nya sebagai bungsu yang jarak dengan kakak nya terpaut hampir 10 tahun. Maya itu, kisah cintanya paling berwarna. Jika saya terperangkap di lelaki yang ‘itu itu’ saja. maka ia bisa berganti-ganti soundtrack patah hati. Maya, yang begitu ketergantungan pada saya ketika fase skripsi datang.

Sukarela, saya mengesampingkan skripsi diri sendiri demi menemaninya wawancara memburu informan dari satu terminal ke terminal lain, dari satu mall ke mall lain. Senang hati, saya menyingkirkan acer putih demi melihat draft tulisan di toshiba hitamnya yang ia keluhkan amburadul dan tak ilmiah. Saya menunda mengerjakan skripsi di malam hari, demi membantu ia menyusun kata dan membangun percaya diri saat presentasi. Padanya, saya curahkan segenap kemampuan untuk mengoreksi, memberi masukan, memilih baju sidang, menenangkan kegugupan, dan memeluknya saat nilai skripsi diumumkan. Semuanya saat itu, mengalir bening tanpa paksaan dan kecemburuan.

Sebaliknya, maya pun menjadi candu bagi saya, yang jika belanja begitu sabar berkeliling lantai demi lantai hanya untuk membeli 1 baju diskonan. maya juga, yang merawat luka-luka ketika saya jatuh, jumpalitan, terjungkal dan jatuh lagi pada satu lelaki yang sama. Maya, partner terbaik dalam hal kuliner karena kegandrungan gila kami pada makanan pedas. Maya, partner diet yang selalu saja gagal karena bakso depan kampus yang selalu menggoda ketika jadwal kuliah tiba-tiba membosankan.

saya sengajakan mengacak-acak file foto, hanya untuk menemukan ini ..

masih polos-polosnya.
ini kami, curi-curi waktu untuk narsis di sela acara MK jurusan
Cuban Rais. 2007


sudah mulai pake merah-merah di pipi
ini kami, yang salah kostum di pernikahan pertama teman sejurusan
Rungkut, 2009


Sedangkan bersama maya, saya temukan kenangan dalam foto-foto ini ..

Acara akustik fest nya kampus. kami sok-sok an ngisi lagu.
Maya terlihat paling lihai berakting :p


detik-detik selebrasi ulang tahun ke 21 nya 
di depan toilet Surabaya plaza.
 

Berburu kaos untuk pacarnya (waktu itu) yang ‘addicted’ doraemon
di sebuah distro, Malang Town Square


Sebagaimana perempuan muda pada umumnya.
Orange boutique. Tunjungan Plaza


Dan minggu siang itu, 16 oktober, saya ikut larut dalam hiruk pikuk pesta peresmian cintanya, dengan lelaki yang lebih kurang 2 tahun bersamanya merajut kisah. Euphoria itu semakin menjadi-jadi karena bonus reuni dengan teman seangkatan. Bahkan nafas yang memburu karena kecilnya gedung dan melubernya undangan, make up yang kalah bertarung dengan keringat, serta kaki yang hampir patah karena tak biasa bertumpu pada heels 7 cm tak bisa membendung pias ceria wajah- wajah karib lama itu.



Just right after make up
and waiting for ‘jemputan’ .


sebagian kecil kontingen ibu-ibu.
it called ‘kumus-kumus’ :p


Menjelang akhir acara, kami foto bersama seluruh angkatan. saya berdiri persis di sebelah maya. Sembari menunggu kameramen sibuk mengatur tata letak, saya bergumam padanya, ‘selamat ya sayang’. Hanya itu, hanya itu yang mampu saya ucapkan. Selebihnya tercekat di tenggorokan. Tak mampu saya utarakan. Saya bahagia sekaligus sedih. Bahagia karena Tuhan mengakhiri liku jalan cintanya dengan sangat indah, tapi sedih karena tak lama lagi ia harus mengikuti suami ke Kalimantan, nun jauh di Balikpapan. Bagi saya, jarak tetaplah jarak, tetaplah memisahkan. sekalipun teknologi sudah memperpendeknya.

Barangkali inilah hidup dan kekuatan waktu. ia merdeka, bebas dan tak terbeli. ia melaju tanpa kompromi, tanpa mempertimbangkan kita siap atau tidak. dan pernikahan maya menjadi satu bukti nyata, bahwa hidup hanyalah soal melewati tahapan, menerima dan mengisinya dengan rasa yang kita inginkan.
Menuju mobil ketika akan pulang, mendung kesedihan di hati saya tiba-tiba menguap. sesungging senyum tergantung di sudut bibir. karena  menyadari ada sesuatu yang tergenggam di telapak tangan. saya membukanya perlahan, Bunga Sanggul. Bahkan saya tak menyadari kapan bunga itu diselipkan..




















0 komentar:

Post a Comment

 

Riska Widya W Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos